Implementasi JKN dengan sistem INA-CBG sudah memasuki tahun ketiga. Beberapa regulasi masih belum diterima secara legowo oleh kalangan medis, utamanya peran BPJS sebagai juru bayar dan peran tambahan sebagai “ regulator “. Sistem INA-CBG memerlukan komitmen yang kuat dan pemahaman yang baik dari RS maupun tenaga medis mengenai metode pembayaran ini, sehingga kwalitas pelayanan terjaga dan potensi fraud berkurang.
BPJS merupakan satu lembaga superbodi yang kuat dan praktis mampu mengontrol hampir seluruh layanan kesehatan dari hulu sampai hilir di Indonesia. Kita tahu BPJS bisa mengontrol RS dan mengharuskan seorang dokter bekerja dengan SIP, yang selama ini sulit terkontrol oleh organisasi profesi sendiri . BPJS didukung oleh Undang Undang, Peraturan Pemerintah, Keppres, Permenkes, Kepmenkes lebih dari 15 buah, dan selalu dievaluasi dan menjadi sorotan anggota DPR dan publik. Hampir setiap saat ada Permenkes baru atau perubahan dalam rangka penyempurnaan. Artinya bahwa BPJS ini memang raksasa layanan kesehatan yang terlindungi oleh pemerintah, anggota dewan dan rakyat.
Menyikapi hal tersebut maka sebagai ahli bedah umum kita bisa melakukan upaya upaya dalam rangka penyempurnaan yang tidak bertentangan dengan sistem JKN. Untuk mencapai daya ungkit yang besar maka kita harus berhimpun dan bersinergi dalam intern organisasi profesi PABI maupun organisasi profesi yang lain. Hal lain yang lebih penting adalah sikap kita yang mampu beradaptasi dengan sistem yang diterapkan oleh BPJS. Kemampuan adaptasi tentunya akan merubah pola hidup seorang ahli bedah umum , kompetensi, cita cita, karier dan seluruh aspek di lingkungannya. Menyikapi hal tersebut maka ada baiknya kita memahami bagaimana upaya Kemenkes dalam menyempurnakan sistem JKN dan bagaimana sikap kita menghadapi hal tersebut
Salah satu upaya dalam pengendalian biaya pelayanan kesehatan adalah sisitem pembayaran Prospektive Payment System (PPS). Pembayaran dengan jumlah yang telah ditetapkan sebelum pemberian pelayanan tanpa mempertimbangkan tindakan medik atau lama perawatan di RS. Salah satu bentuk PPS adalah Diagnosis Related Group (DRG). DRG merupakan suatu mekanisme pembayaran yang ditetapkan berdasarkan pengelompokan diagnosa, tanpa memperhatikan jumlah/pelayanan yang diberikan. Diagnosis dalam DRG sesuai dengan ICD-9 CM dan ICD-10. Dalam pengelompokan diagnosis ditetapkan berdasarkan dua prinsip yaitu clinical homogenity dan resource homogenity.
Sistem DRG pertama kali dikembangkan di Amerika dan telah diterapkan di berbagai negara diantaranya Australia, Thailand, Jepang, Kanada. Sistem DRG pertama kali dikembangkan di Indonesia pada tahun 2006 dengan nama INA-DRG. Implementasi pembayaran dengan INA-DRG dimulai pada 1 September 2008 pada 15 RS yang bekerja sama dengan program Jamkesmas. Pada tanggal 31 September 2010 dilakukan perubahan nomenklatur dari INA-DRG menjadi INA-CBG (Indonesia Case Based Group) seiring perubahan gruper dari 3M Gruper ke UNU (United Nation University) Grouper. Sistem INA-CBG ini juga diimplementasikan sebagai metode pembayaran dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak januari 2014.
Dua komponen besar yang berperan dalam sisten INA-CBG adalah grouping dan costing. Grouping kita sudah terima jadi dari UNU, sedang costing kita menghitung sendiri , yang di awal dulu besarannya disusun oleh NCCN. Saat ini kendali INA-CBG ada di Pusat Pembiayaaan dan Jaminan Kesehatan (P2JK) di bawah Kemenkes. Costing sudah mengalami up date 3 kali sejak 2014 sampai akhir 2015. Dan di up date rutin setiap minimal 2 tahun sekali.
Sebagai salah satu organisasi profesi, PABI diundang dalam beberapa kali pertemuan dengan Kemenkes dalam rangka memberikan usulan , sosialisasi dan workshop yang berkaitan dengan sistem JKN.
Kalau universal coverage tercapai pada tahun 2019 , maka peran BPJS menjadi sangat dominan dalam segala aspek pelayanan kesehatan. Bagaimana profesi bersikap menjadi pemikiran kita bersama. Didalam kerjasama BPJS memang tidak ada klausal yang berhubungan dengan tenaga medis. BPJS membayar RS sesuai dengan coding dan klaimnya, dan besaran tarif jasa medis menjadi persoalan intern antara RS dengan tenaga medis. RS bisa saja memberikan besaran jasa medis atas pertimbangan kepentingan mereka sendiri. Tidak ada lagi seorang ahli bedah umum berpraktek pribadi dan sudah seharusnya ternaung dalam intitusi baik klinik atau RS.
Profesi punya daya tawar dan negoisasi yang baik terhadap RS kalau mempunyai kontribusi yang besar terhadap perkembangan dan kemajuan RS. Istilah “ mampir minum” harus sudah kita tinggalkan dan kita harus ikut menggali sumur supaya bisa minum bersama sama. Kalaulah ada peran asuransi swasta harus dipikirkan juga bahwa mereka akan merujuk besaran klaim ke besaran tarif BPJS, dimana system pembayaran bukan lagi fee for service . Hal ini menjadi salah satu acuan sikap bahwa kita harus ikut berperan dalam kemajuan RS, dengan cara mengenal baik produk unggulan RS tersebut dan sedapat mungkin kita ada di dalamnya.
Profesi Bedah Umum adalah profesi dengan kompetensi yang luas. Secara teoritis seorang ahli bedah umum punya kemampuan adaptasi yang sangat baik terhadap tehnologi dan keahlian tertentu serta kebutuhan keahlian suatu institusi pelayanan kesehatan. Saat ini keahlian tertentu di bidang bedah dan tehnologinya dengan mudah bisa dikuasai oleh seorang ahli bedah umum karena ditunjang oleh kemudaham akses baik formal maupun informal. Tugas organisasi profesi berjuang dan mendukung sepenuhnya dengan cara pengakuan oleh RS dalam bentuk clinical previlage maupun asuransi dalam bentuk pengakuan kompetensi termasuk sistem rujukannya. Sudah saatnya juga seorang ahli bedah umum menentukan keterminatannya pada suatu keahlian tertentu secara mendalam apabila mereka bekerja dalam kelompok di satu institusi. Alangkah mubadzirnya apabila ada satu institusi yang mempunyai beberapa ahli bedah umum tetapi punya kompetensi sama, dan alangkah bangganya kalau ada 4 ahli bedah umum di suatu institusi tapi punya keahlian mendalam yang berbeda dan lebih spesifik diluar kompetensi standar yang diperoleh selama pendidikan.
Jumlah anggota PABI yang terdaftar sampai Maret 2016 mencapai 2137 orang, belum termasuk lulusan 2016. Dari 14 pusat pendidikan spesialis bedah umum akan diluluskan ahli bedah kurang lebih 200 orang per tahun. Secara matematis dari 2519 RS yang ada di Indonesia dengan penyebaran yang baik akan bisa terpenuhi kebutuhan ahli bedah umumnya. Pada beberapa RS sangat mungkin satu RS terisi oleh beberapa ahli bedah umum, apalagi dengan 3 SIP yang berlaku. Dalam 5 tahun ke depan akan ada penambahan lulusan ahli bedah umum sekitar 1000 orang dengan jumlah yang purna kurang dari 250 orang. Beberapa sikap yang mungkin bisa dipertimbangkan :
Hal lain yang patut kita pertimbangkan adalah isu isu pemberlakuan sistem rujukan yang berjenjang dan semakin ketat oleh BPJS , perbedaan besaran tarif INA-CBG RS swasta dan pemerintah, tidak adanya perbedaan tarif klas RS, tuntutan mono loyalitas serta pembatasan kompetensi ahli bedah umum.
Dari semua hal diatas, maka menurut saya hal terpenting adalah kita sudah harus mulai beradaptasi dengan fixed salary atau sistem remunerasi, pola hidup hemat, menjaga badan sehat dan merasakan kenikmatan hidup seperti profesi diluar medis.
Dokter Bedah
Cabang